Selasa, 30 November 2010

PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI

LATAR BELAKANG
Dalam menyelesaikan kasus Perdata, biasanya terdapat dua jalur yang menjadi penawaran bagi pihak yang bersengketa jalur litigasi dan non-litigasi. Yang dimaksud dengan Litigasi adalah bentuk penanganan kasus melalui jalur proses di peradilan baik kasus perdata maupun pidana, sedangkan Non-Litigasi adalah penyelesaian masalah hukum diluar proses peradilan. Non litigasi ini pada umunya dilakukan pada kasus perdata saja karena lebih bersifat privat.
Non litigasi mempunyai beberapa bentuk untuk menyelesaikan sengketa yaitu:
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Arbitrase
Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok maupun antar badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan.

BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI JALUR NON LITIGASI
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang atau lebih/para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap kepentingan penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan negosiasi. Seorang negosiator harus mempunyai keahlian dalam menegosiasi hal yang disengketakan antara kedua pihak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya:
1. Memahami tujuan yang ingin dicapai
2. Menguasai materi negosiasi
3. Mengetahui tujuan negosiasi
4. Menguasai keterampilan tehnis negosiasi, didalamnya menyangkut keterampilan komunikasi.

2. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

3. Arbitrasi
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).

Kamis, 14 Januari 2010

Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

Pengertian Sistem Hukum

Secara sederhana. “system” berarti sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Banyak unsure-unsur yang terjalin dalam suatu system. Hal ini terlihat pada hokum sebagai suatu system. Sudikno Mertokusumo mengibaratkan system hokum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain,tetapi kait-mengait dengan bagian-bagian lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam system itu sendiri.

Berbicara tentang “system hokum” berarti berbicara tentang sesuatu yang berdimensi sangat luas. Secara mudah system hokum dapat dibedakan menjadi tiga komponen, yakni: (1) struktur hokum, disini berupa lembaga-lembaga Negara dan pemerintahan. (2) substansi hokum, semua asas dan norma yang dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (3) budaya hokum, maksudnya adalah kesadaran hokum dari subjek-subjek hokum suatu komunitas secara keseluruhan.


Part I.......

Kamis, 02 Juli 2009

PENEGAKAN HUKUM DAN ILLEGAL LOGGING

Pandangan terhadap hukum saat ini adalah yang kuat dia menang dan yang lemah dia kalah. Dimana ada anggapan bahwa yang miskin masuk penjara, yang kaya bebas kemana – mana. Contoh konkrit sudah ada didepan mata, seperti pada kasus illegal logging banyak pelaku yang ditangkap dan diproses rata-rata adalah buruh. Bisa dikatakan supir truk, nahkoda kapal, tukang pikul kayu dan lainnya yang bukan pelaku utama (cukong).

Perbedaannya tampak ketika seorang pelaku kelas kakap ditangkap dan diproses secara hukum di pengadilan dengan akhir putusan yang ringan bahkan bebas dari jeratan hukuman. Seperti kasus Buntia seorang Direktur PT. Rimba Kapuas Lestari yang merupakan otak pelaku penebangan di Hutan Lindung Bukit Punai Laki Kabupaten Sintang yang tidak terbukti kesalahannya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi factor supremasi hukum agar penegakan hukum terhadap kasus illegal logging tidak tebang pilih?

Prinsipnya hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga Negara – bahkan pejabat pemerintah – tunduk pada hukum dan berhak atas perlindungan hukum. Tetapi pada dasarnya yang membawa dan menerapkan hukum itu adalah pihak-pihak yang kuat. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Penegakan hukum senantiasa tercermin pada pola perilaku para penegak hukum yang mempunyai
pengaruh utama dalam proses penegakkan hukum itu sendiri. Bahwa didalam hukum telah jelas mengatur asas persamaan kedudukan didalam hukum (Equality Before The Law).

Undang-Undang sebagai faktor hukum utama, tetapi para penegak hukumlah sebagai pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu sendiri. Dalam perspektif hukum terhadap kasus illegal logging, telah dibuat Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Didalamnya telah dijelaskan tentang aturan dan larangan untuk melakukan penebangan kayu. Ada yang memodali untuk melakukan penebangan dan masyarakat diiming-iming dengan upah, sebagai pemenuhan kebutuhan tambahan mereka mau melakukan kerja itu walau akhirnya melanggar peraturan dan terjerumus dalam jeratan hukum.

Kejahatan illegal logging telah terorganisir, mulai dari pemodal, pekerja dan oknum para pihak birokrat yang bermartabat pun ikut terlibat membantu memuluskan jalannya kegiatan haram ini. Hal tersebut bukan opini belaka melainkan fakta yang terjadi di Indonesia. Contoh kasus Ketapang, ditemukannya ribuan kayu illegal dan cukong Malaysia oleh Mabes Polri merupakan sebuah pelajaran bagi semua pihak, kejadian yang membukakan mata untuk melihat fakta yang sebenarnya terjadi. Dimana dari cukong, oknum Dinas Kehutanan, oknum Kepolisian dan oknum pemerintahan lain yang terkait dan terlibat, mereka semua yang terjaring dalam razia dan penertiban kayu liar adalah orang-orang kuat yang mempunyai jabatan dan martabat.

Ini salah satu proses penegakkan hukum terhadap kasus illegal logging. Dimana aparat penegak hukum telah berupaya melaksanakan penegakkan hukum itu sendiri. Lalu bagaimana terhadap proses penegakkan hukum dipersidangan bagi pelaku pencurian kayu ini. Apakah hanya sampai pada saat penangkapan saja yang sempat menggegerkan media diseluruh Indonesia? Atau keputusan Hakim yang membuat semua masyarakat kecewa? Itu tergantung kepada yang kuat dan para penguasa yang berkuasa untuk menegakkan hukum.

Dari beberapa contoh kasus diatas merupakan gambaran penegakkan hukum terhadap tindak pidana kejahatan illegal logging yang terjadi, akan tetapi tak jarang pula segelintir kasus illegal logging dapat diselesaikan dengan rasa keadilan bagi semua pihak terutama masyarakat. Perlunya koordinasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum baik itu dari masyarakat, aparat penegak hukum itu sendiri yang antara lain pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim sebagai penentu dan pengambil keputusan. Penegak hukum merupakan golongan panutan bagi masyarakat, yang untuk itu hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan untuk menghadapai dan menyelesaikan permasalahan / kasus-kasus yang khususnya dalam hal ini kasus illegal logging

Dampak Illegal logging
Inilah yang terjadi di bumi Indonesia illegal logging adalah salah satu criminal yang sangat merugikan Negara bahkan Dunia. Yang mana asset Negara salah satunya Sumber Daya Alam habis, dan sebagai pemilik asset (Rakyat) hanya bisa gigit jari ketika melihat harta kekayaannya dicuri dan tanpa bisa berbuat sesuatu untuk mengambil kembali haknya tersebut. Karena kemampuan untuk mempertahankan aset ini masyarakat hanya bertumpu dan berharap pada penguasa yang melakukan penegakan hukum. Efek dan dampak negative yang muncul akibat illegal logging, Dunia merasakan dampaknya ketika populasi hutan mulai berkurang di Bumi ini seperti mencairnya gunung es salah satu fenomena alam yang terjadi karena pemanasan global yang merupakan akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh tangan-tangan kotor yang menebang kayu secara serampangan tanpa memperdulikan lingkungan. Selain itu dampak kejahatan illegal logging ini berdampak pada segi ekonomi, sosial dan ekologi. Dimana dari segi ekonomi penebangan liar sangat merugikan Negara yang menyebabkan pendapatan Negara berkurang terjadinya konflik masyarakat yang berpengaruh pada kultur social, serta dampak ekologi yang luar biasa hewan dan tumbuhan langka musnah, terjadi krisis lingkungan terjadinya kekeringan, banjir, bencana alam.

Akan tercipta kehidupan secara selaras dan seimbang apabila dari penegakkan hukum benar-benar menjalankan peranannya sesuai dengan koridor. Pengaruh hukum sangat signifikan terhadap perkembangan Negara membawa pengaruh pada pertumbuhan ekonomi, politik yang sehat, pemerataan kesehatan dan pendidikan serta social budaya.